Tidak Gagal Bangun Pagi
“Keep your face always toward the sunshine – and shadows will fall behind you”. – Walt Whitman
Saya adalah kelelawar. Melek di malam hari untuk lalu tidur hingga siang. Tiap pagi, ajakan selimut untuk tetap meringkuk selalu saya iyakan dengan anggukan dan senyum setuju.
Tapi dalam 2 tahun terakhir ini saya mencoba membangkang kepada yang alami. Menggeser ritme circadian saya menjadi ayam.
Alasannya rupa-rupa. Mungkin karena saya sedang berlatih untuk ikut marathon dan lari malam hari kok rasanya ngeri. Mungkin karena pagi adalah janji tentang ketenangan. Mungkin karena saya termakan janji madu Robin Sharma di 5 AM Book Club. Pendek kata saya cukup bertekad untuk bangun pagi, yang sebenernya cukup mengherankan untuk diri saya sendiri.
Usaha saya lumayan berhasil. Kalau merujuk dengan tracking app yang saya gunakan, sukses ratenya 93%. Rahasianya? Tiga Alarm.
Yip. Tiga alarm. Satu gegabah. Dua kurang. Tiga pas. Lebih dari itu cuma bikin jengkel.
Untuk yang ingin coba bangun pagi juga, ini lumayan manjur dan jitu. Dicoba deh.
Saya sendiri, jujur saja, hingga hari ini, bangun pagi masih tidak nyaman buat saya. Bangun pagi tidak lantas otomatis produktif. Beberapa bulan pertama saya mencoba bangun pagi malah saya lewatkan dengan menonton highlight bola. Waktu tidak mendefinisikan kualitas. Niatan iya.
Saya masih mencoba bangun pagi hari ini. Melakukan yang tidak nyaman. Karena mungkin, mungkin saja, kalau bagian tersulit dari hari sudah saya lalui, sisa hari saya akan jadi lebih mudah.
Photo by Jonas Weckschmied on Unsplash