Annual Review 2020: 4 Hal Yang Saya Pelajari
Waktu saya mengetik artikel ini, kalendar menunjukkan bulan Maret. Dan biarpun 2020 sudah lewat 3 bulan yang lalu, residu dari wabah COVID masih pekat. Wajar memang sih, karena hingga detik ini saya masih menghabiskan hampir semua jatah 24 jam saya di rumah, rinse and repeat, mirip adegan film Groundhog Day.
Tahun yang penuh disrupsi kemarin memotivasi saya untuk lebih serius dalam melakukan ritual annual review. 2020 adalah waktu yang spesial dan saya harap saya bisa melihat jernih apa yang terjadi di tahun kemarin buat modal untuk melakukan annual plan 2021.
Model annual review yang saya lakukan ini berdasarkan proses yang dibuat oleh Tiago Forte dan David Perell, dua orang favorit saya di internet. Workshopnya berlangsung selama 2 hari, dengan total durasi sekitar 6 jam, dan dibuat dengan pendekatan cohort bottom to top.
Workshop ini bukan self paced, saya melakukannya bersama ratusan orang lain lewat zoom dan dibuat dengan mengumpulkan data berupa photo, jurnal, tulisan, item kalender dari 2020. Dengan pendekatan bottom to top, saya harus balik ke belakang, dan menjawab berbagai prompt pertanyaan unik sebelum saya bisa maju ke depan. Data point dari pertanyaan ini nanti bakal dijadikan modal untuk menjadi key takeaway dan juga rencana untuk tahun 2021. Tiago dan David juga mendorong saya untuk mempublikasikan hasil dari annual review, sebagai bagian dari accountability hack, dan ini sebabnya hasil annual review ini sekarang nongol di website saya.
4 Key Takeaway di 2020
Ada banyak hal yang saya pelajari di 2020, tapi berikut ini adalah main key takeaway yang saya dapatkan di 2020:
Apa yang saya pikir akan bikin saya happy, dengan apa yang beneran bikin saya happy, seringkali gak nyambung
Ada beberapa hal yang awalnya saya bayangkan akan memberikan efek signifikan untuk happiness seperti proyek kantor yang sukses, karir, possession, ternyata ketika berhasil diraih tidak semenyenangkan yang saya bayangkan. Kebanyakan hal yang truly joyful malah berasal dari pengalaman intangible yang biasanya saya take for granted. Contoh kecilnya adalah bocah umur 3.5 tahun bernama Zen. Saya tahu dia bagian yang penting dalam hidup saya, tapi yang saya tidak sangka dia secara konstan memberikan energi yang besar buat saya.
Melihat foto Zen, Zia, Gita, keluarga, teman di tahun kemarin membuat saya merasa fulfilled. Jauh daripada ketika saya melihat beberapa achievement saya di tempat kerja.
Society dan media akan terus menarik otak monyet saya ke dalam game of status. mendikte mana yang penting dan mana yang gak. Belajar untuk mengidentifkasi mana yang "true joy" dan mana yang bukan untuk kemudian secara strategis mendesain hidup saya di sekitar "true joy" itu adalah skill yang harus saya latih terus.
Gak semuanya gelap
2020 memaksa saya keluar dari zona nyaman saya. Memberhentikan staff, mengambil alih sales, berhenti berpetualang mengunjungi kota lain, bekerja dari rumah setiap hari, tidak bisa bertemu keluarga yang bahkan di satu kota, rasa cemas takut menulari orang-orang terdekat saya, constant meeting, dan lain-lain, membuat tahun kemarin jadi tahun yang beneran disruptif untuk saya.
Having said that. Di saat yang bersamaan saya juga merasa sangat beruntung karena saya hidup di era yang mengijinkan saya untuk bisa tetap berkontribusi dan menikmati hidup.
Di dunia karir, saya masih bisa berinteraksi dan bekerja secara virtual. Saya sangat bersyukur client masih mempercayakan product mereka untuk dikerjakan dan dibangun oleh SoftwareSeni. Pandemi juga membuat bonding antara saya dan tim saya jadi lebih kuat lagi. SoftwareSeni gak cuma bisa bertahan tahun kemarin, tapi juga bisa meneruskan growth rate dari tahun sebelumnya.
Di rumah, saya bisa melewatkan sebagian besar waktu saya bersama keluarga. Dan itu mengajarkan saya untuk gak cuma menerima, tapi juga embrace kehadiran mereka, paying attention, be really there dan gak ada di tempat lain.
Di waktu senggang, saya masih bisa nonton Mandalorian (in super high resolution) sama Gita. Saya masih bisa menikmati the perfect telur dadar buatan Mamak. Hell, saya bahkan masih bisa lari dan bisa pulih dari cedera harmsting yang menghantui saya selama 4 bulan.
Iya, 2020 punya cerita gelapnya. Tapi saya sangat beruntung dan berterima kasih, karena hidup telah memperlakukan saya dengan sangat baik.
Subtraction is the true addition
Salah satu kutukan dan juga berkah yang saya tanggung adalah saya suka bereksperimen dengan hal baru. Syndrom of a new shiny things jadi hal yang sering menghantui saya sejak kecil. Ketika ada hal baru yang menarik buat saya, eskalasinya bisa cepat sekali naik dari tertarik ke terobsesi.
Ini membuat saya jadi the ultimate jack of all trade, master of none. Sesuatu yang buat saya pribadi adalah strength saya.
Satu hal yang saya perlu pelajari adalah I can only have 24 hours in a day. Menumpuk hobi baru, minat baru, barang baru, project baru dan mencoba untuk mempertahankan semuanya di saat yang bersamaan itu capek. Saya gak bisa total pivot ke minat yang baru, kalau saya masih ingin mempertahankan yang lama di belakang. Sunk cost fallacy itu sindrom yang berbahaya.
Jangan meninggalkan lari
Tiap orang punya hero story mereka. Dan buat saya, hero story saya adalah ketika mengikuti half marathon di Merapi Run bulan Februari 2020. Lari subuh-subuh di dekat Gunung Merapi dengan hujan badai dan kabut diteman matahari yang pelan-pelan terbit itu surreal. I slay my dragon and become my own hero.
Sayangnya habis Februari, semuanya mundur. Pandemi dan disrupsi membuat saya fokus ke survival mode. Saya jadi sering gagal lari di pagi hari. Hal ini ditambah rasa enggan untuk mengobati cidera harmstring membuat saya mandeg berlari untuk waktu yang sangat panjang. Kalau tahun 2019 saya total berlari sebanyak 179 kali, dan menempuh total jarak 821km, di tahun 2020, catatan lari saya melorot, turun 70% jadi cuma 68 kali lari dan 245km .
Saya yakin ini bukan kebetulan. Saat di mana saya berhenti lari, hampir secara bersamaan datang juga semua low point saya di tahun kemarin. Kemudian saat di mana saya mulai lari lagi setelah 5 bulan mandeg, everything started to pick up both in professional and personal life.
Ternyata lari itu gak cuma sangat penting untuk saya, tapi juga vital. Tanpa lari, saya jadi stagnan dan mundur, dan jadi versi terburuk saya.
Run fix me.