Pakuningratan No.15
Di usia 2 tahun, saya sudah pindah kota. Dengan menggunakan kapal Pelni Rinjani yang juga berumur sama, bapak membawa saya 5 hari 4 malam ke barat untuk tinggal dengan kakek nenek di Malang. Sejak itu, dilecut oleh kebutuhan dan janji, pindah dari satu nama kota ke kota lain adalah konstanta. Hidup saya hingga umur 18 tidak terikat kepada lokalitas manapun, tidak peduli terhadap rumah.
Namun, sejak saya pindah ke Yogyakarta, hal itu berubah. Salah satu lokasi yang saya suka adalah Pakuningratan no.15. Sejak pertama kali menginjakkan kaki ke bangunan itu di awal musim hujan 2013, saya sudah mulai menyukainya. Sebelum erupsi merapi. Sebelum 100 orang ada di dalamnya. Sebelum saya bertemu Gita. Saya sudah menyukai tempat ini. Kolonial dan hangat. Jl Pakuningratan No.15 adalah rumah dan saya peduli.
Di situ saya bekerja dan saya melewatkan sebagian besar hidup saya. Suatu ketika di angkringan depan kantor, Dion duduk sembari minum kopi instan yang selalu saya cibir. “Akan di sini sampai kapan?” tanyanya. “Sampai lama,” jawab saya.
Awal minggu kemarin, setelah 6 tahun, kami perpindah tempat.
Dalam hitungan 2 hari, kami berhasil memindahkan semua operasi ke tempat baru, Jl Magelang 65. Saya masih menempati kursi yang sama, meja yang sama, namun satu hal yang membuat saya takjub, cuma butuh satu hari untuk membuat saya merasa bahwa tempat ini seperti rumah.
Saya selalu berpikir rumah adalah tempat, lokasi, dan tanah. Tapi ternyata bukan. Saya mungkin akan ada di jalan yang berbeda 5 tahun lagi, tapi selama saya dikelilingi orang-orang ini, jam 8 hingga 5 akan selalu terasa seperti rumah untuk saya.