Bayangin kamu tukang bakso yang enaknya nggak ketulungan. Kuahnya gurih, dagingnya juicy, ada menu iga sedap, yang nyobain langsung pengen adopt kamu si Tukang Bakso. Tapi… the thing is, kamu jualannya di tengah hutan. Hutan Alas Purwo lagi. Orang takut beli bang. To make it worse, kamu jualan service. Sesuatu yang intangible, gak bisa dipegang, persis demit.
Nothing more sad than seeing product/service keren, tim solid, tapi sales pipeline macet. Product/Amazing service is half the work, and I learn the hard way kalau this is the second most important thing, untuk membangun proper business. Profitable business. Jago bikin product is not guarantee kalau kamu bakal sukses. Bakso itu harus dipasarkan dengan ciamik.
Di sini saya sharing ya tentang pengalaman dalam 2-3 tahun tereakhir fokus managing Sales and Marketing, terutama untuk Indonesia Market. Market yang agak ajaib ini. List yang ada di sini berangkat dari pelajaran membuat dosa dan kesalahan, bukan best practice lengkap (nanti di bawah tak cantolin beberapa buku yang sepertinya worth it buat dibaca).
Hopefully you can steal one or two thing from the list 😉.
–Spend 3 sessions on improving proposal quality? Mungkin tambah satu sesi lagi buat improving spelling dulu, ya.
Di marketing dan sales, ada dua hal penting: input dan output.
Kebanyakan tim sales cuma fokus ke output. Setiap bulan, mereka ngelaporin angka kayak total leads, revenue, conversion rate, dll, tapi jarang banget baha input. Masalahnya? Output itu bukan sesuatu yang 100% bisa kamu kendalikan.
Misalnya, target kamu adalah closing 2 client bulan ini. Kamu bisa usaha mati-matian, tapi kalau tiba-tiba semua client lagi butuh delay decision karena pas awal January dan bos bos lagi pada liburan, ya nggak bisa ngapa ngapain juga. You can influence the output, but you can’t directly change it.
Sementara itu, input 100% ada di kontrol kamu. Kamu bisa atur berapa banyak meeting yang kamu lakuin, berapa banyak email yang kamu kirim, berapa banyak demo yang kamu kasih. Jadi, kalau mau sukses, worry about input. Make sure kamu setup Input Goal, tracking input progress, dan spent time buat diskusi soal input dengan tim kamu. Kalau ada orang tanya, “Minggu lalu berapa kali meeting sama client?” atau “Berapa artikel yang udah kamu publish?”, kamu harus bisa jawab luar kepala.
Nah, salah satu hal yang paling tricky adalah figure out gimana caranya “mendekatkan” antara Input kamu dengan Output. Maksudnya, idealnya apapun Input yang kamu lakukan kalau bisa linear lurus ke Output yang kamu inginkan. Jadi kalau kamu melakukan 30 artikel dan hasilnya ada 300 visitor, make ketika kamu melakukan 300 artikel, kamu bisa mendapatkan 3000 visitor. Ini input yang nyambung dengan output.
Problemnya adalah seringkali input yang kita pikir harusnya impact ke output, itu gak nyambung.
Kalau kamu salah pilih input, yang ada malah buang waktu dan tenaga buat sesuatu yang nggak ada efeknya. Peter Drucker bilang kalau “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Jadi tugas kamu bukan cuma mastiin kalau kamu produktif di Input tapi juga make sure kalau Input yang kamu lakukan beneran impactful buat output kamu.
Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan biar nggak buang waktu di strategi yang nggak work.
_ Analysis Funnel dan compare antara data leads dan data sales bakal bantu kamu untuk tahu, mana Input yang relevant dan mana yang nggak.
–Bro kiri: ‘Kerja buat hidup.’ Bro kanan: ‘Hidup buat kerja.’
Buat yang nanya apakah sales itu boleh tampil apa adanya, jawabannya nggak. Iya. Sayangnya, penampilan kamu gak bisa apa adanya. Saya juga pengen bilang kalau klien nggak bakal nilai dari tampang, tapi kenyataannya emang first impression itu nyata.
Kalau kamu kelihatan gak representative, klien bakal ragu. Apalagi kalau jualan kamu high-ticket atau kliennya level enterprise.
On the other hand, terlalu fancy juga bisa backfire. Bayangin kamu dateng pake Mercy, tas LV, jam Rolex, sementara kliennya masih cicil mobil. Bisa-bisa mereka mikir, “Orang ini nge-charge gue terlalu mahal gak ya?”
Jadi, penampilan harus rapi, premium, tapi tetap approachable. Nggak perlu pake merek luxury atau worse beli merek luxury palsu, yang penting jangan bikin client sampe mikir “oh, yah, kayaknya biasa aja ya Mas/Mbaknya”. Beberapa tips juga buat hal yang berkaitan penampilan:
Golden rule-nya? Rapi, premium (bukan luxury), dan yang paling penting: bersih. 🚀
Lupa yang bilang siapa, tapi main currency business itu trust. Kalau calon client ngerasa kamu authentic, ini bakal bantu kamu untuk build long-term trust sama client. Cara paling gampang buat jadi authentic adalah menghindari bullshit. Kebanyakan decision maker di perusahaan, yang jadi leader, mereka ada di posisinya karena mereka punya brain power yang oke dan juga kepekaan. Orang-orang kayak gini udah kenyang pengalaman dan bisa mengendus bullshit dari kejauhan. Kadang mereka bakal mentolerir bullshit kalau mereka kepepet atau merasa value yang kamu tawarkan sangat menarik. But all thing equal, mereka bakal reluctant buat kerja bareng orang yang mereka gak yakin bakal bisa dipercaya.
Be transparent sama strength kamu dan jelasin juga ke client upfront tentang limitasi product dan service yang kamu tawarkan–bahkan sebelum ditanya sama client. Share struggle kamu juga, dan cerita how you solve it.
Yes, ini contoh contekan. Selalu prepare talking point. Ditato di tangan lebih oke lagi.
…. next topic: Network beat everything else, by large margin